Kunang-Kunang


Berbahagialah pohon dan rerumputan yang dijatuhi hujan
Setelah bertahan pada kekeringan yang berkepanjangan
Kukira ini adalah sebuah pengampunan Tuhan
Maka ampunilah aku yang akan merayakan kesedihan
Hanya malam ini saja
Beribu tanya menghampiri. Apa? Mengapa? Bagaimana?
Berpikir keras kudibuatnya
Lalu kujawab sendiri sekenanya
Semuanya saling tabrak dalam ruang temaram
Sukar sekali bagiku menemukan sepasang pertanyaan dan jawaban yang pas.
Kukira iya, bisa juga tidak
Ah, entah kenapa terlalu banyak tanya
Terlalu banyak suara
Kubiarkan jendela sedikit terbuka
Semilir angin malam nan lembut menjelma menjadi kunang-kunang
Hinggap di tanganku yang gemetar
Kerlip cahayanya mengaburkan pandangan
Semakin redup karena tampaknya ia kelelahan
Kuperhatikan tanganku kian gemetar tak terkendali
Sampai kunang-kunang itu terbang menghilang dan menyelinap diantara bintang-bintang
Aku tak yakin apa yang dibawa kunang-kunang itu dariku
Lantas aku sadar ada luka yang menganga
Begitu dalam membentuk rongga tak kasatmata
Dengan sengaja aku membiarkannya berdarah-darah
Menetes menyertakan duka, amarah, dan kecewa
Kuizinkan jiwaku meraung kesakitan
Biarkan sedu sedanku mengganggu ketenangan dewa langit
Mungkin ia akan menyahut lewat petir dan kilat yang melejit
Maka kuizinkan…
Menangislah…
Lepaskanlah…
Relakanlah…
Tanpa sorak sorai dan tepuk tangan, mari rayakan kesedihan malam ini
Semoga aku hidup di pagi hari nanti…


Sentul, 15102019


















Comments

Popular posts from this blog

Analysis of The Poem “I Never Saw a Moor” by Emily Dickinson Based on Its Intrinsic Value

Recomended Film "Dead Poets Society"