THANK YOU FOR BEING ALIVE


Opini




Lampu studio kembali dinyalakan. Penonton beranjak dari tempat duduk kemudian menuju pintu dengan tanda exit yang menyala merah di bagian atasnya. Mereka sibuk membicarakan film yang baru selesai diputar hingga lupa membawa sampah sisa makan dan minum selama pertunjukan tadi.
Ya, film yang bagus memang. Joaquin Phoenix sukses membawakan karakter Joker. Selain simbol dari kaum minoritas yang butuh pengakuan, saya akan lebih menyoroti kondisi mental tokoh utamanya. Arthur Fleck, orang baik yang memang sudah “sakit” kemudian mendapat perlakuan tidak adil, mengalami kekerasan, diremehkan, dan akhirnya semakin “sakit”.
Arthur diceritakan mengidap Pseudobulbar Affect (PBA), kondisi di mana ia tidak bisa mengontrol respon tertawanya sendiri. Bahkan ia akan tertawa di saat situasi yang seharusnya tidak dilakukan oleh orang “normal” lainnya.
Masih ingat adegan Arthur menunjukan kartu berobatnya saat di bus? Ia menunjukannya pada penumpang yang terganggu dengan tawanya yang terbahak-bahak. Di kartu tersebut tertulis bahwa ia sedang menjalani pengobatan. Walaupun merasa tidak nyaman, akhirnya semua penumpang jadi memakluminya.
Bukan hanya tawa, namun tangisan yang tak terkendalikan dan sering datang tanpa alasan pun termasuk dalam gejala PBA. Selain itu, masih banyak lagi penyakit mental yang bisa diidap oleh setiap orang seperti depresi, bipolar, dan lainnya. Sayang, tingkat kesadaran masyarakat Indonesia tekait kesehatan mental masih rendah.
Saya kira, tidak semua orang bisa selalu membawa kartu berobat seperti yang dilakukan Arthur kala ia bepergian kemanapun. Yang ada, kalian akan dicemooh dan dicap gila oleh orang-orang sekitar. Hal tersebut masih tabu di Indonesia. Dengan minimnya literatur yang dibaca, sosialisasi yang tidak merata, juga kebiasaan orang timur yang selalu mengaitkan sesuatu yang ganjil dengan takhayul. Belum lagi pendapat bahwa jika ada orang yang bertingkah aneh dan melantur, tak sedikit yang berpendapat bahwa ia diguna-guna.
Setiap orang memiliki masalahnya masing-masing. Begitu juga kesedihan yang bisa menjadi milik setiap orang. Penyakit mental bisa diderita siapapun. Tapi aktivitas harus tetap berjalan, bukan?
Baru saja di pertengahan Oktober ini, dilaporkan bahwa seorang ibu yang diduga depresi tega menggelonggongi anaknya yang berusia dua tahun hingga tewas. Sang ibu diancam akan diceraikan suaminya karena dianggap tidak becus mengurus anaknya yang terlihat kurus. Ia lantas mencekoki si anak dengan terlalu banyak memberi minum.
Miris sekali bukan? Betapa luar bisa efek depresi yang kadang pasien pun tak sadar bahwa ia tengah sakit dan mengalami gangguan mental. Gangguan mental bahkan bisa diidap lama, hingga beberapa tahun. Seperti halnya Robin Williams, aktor dan komedian asal Amerika Serikat yang diduga bunuh diri karena depresi. Semua orang tidak menyangka bahwa dibalik keceriaannya ada sesuatu yang sudah lama dipendam. Demikian juga Chester Bennington dan Dolores O’Riordan, vokalis kenamaan yang mati mendadak dengan diduga mengalami depresi dan membawa luka serta kenangan pahit masa kecil. Selama hidupnya mereka berjuang dalam “sakit”.
Perhatikan saat kita berada di jalanan. Kamudian melintas mobil dengan kaca belakang dipasang stiker “baby on board” atau “pregnant on board”. Tentunya secara manusiawi, kita akan mengurangi kecepatan dan memberikan space lebih untuk mobil tersebut. Begitu juga untuk mobil yang diberi tanda “sedang belajar mengemudi”. Tanda tersebut secara tidak lagsung memaksa kita untuk bertoleransi.
Penyakit mental bukan sakit yang bisa terlihat secara langsung dan sulit sekali teridentifikasi. Kita tidak akan tahu bahwa seseorang mungkin saja sedang terkena depresi berat. Bisa karena rasa kehilangan yang mendalam, perceraian, atau apapun. Kapasitas tiap orang dalam menghadapi persoalan hidup pastilah berbeda.
Jadi, bisakah kita berbuat lebih baik kepada orang lain walaupun mereka tidak memakai “tanda” seperti yang dilakukan Arthur atau seperti stiker baby on board tersebut?
Seseorang bisa saja terlihat baik-baik saja. Namun kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya sedang dialaminya. Tampak senyuman mengembang tapi kesedihan bisa saja menyelimutinya.
Atas dasar kemanusiaan, mari kita lebih peduli sekitar. Sekedar tersenyum dengan orang yang berpapasan atau menanyakan kabar temanmu apakah mereka baik-baik saja. Dengarkanlah temanmu yang sedang berkeluh kesah. Terkadang alih-alih solusi, mereka butuh pendengar yang baik. Berhentilah menyepelekan orang lain.  Stop judging before you know the whole story behind.
Dan teruntuk mereka yang sedang berjuang kembali “normal”, percayalah semua akan baik-baik saja. Ucapkan selamat malam pada dirimu sendiri sebelum terlelap. Ucapkan terima kasih pada dirimu sendiri karena telah mampu bertahan. 
Thank you for being alive…





Comments

Popular posts from this blog

Analysis of The Poem “I Never Saw a Moor” by Emily Dickinson Based on Its Intrinsic Value

Kunang-Kunang

Recomended Film "Dead Poets Society"