CERPEN "TIGA"


TIGA
Oleh : Indri Indrayani


Ini adalah kisahku, kisah yang mungkin biasa-biasa saja bagi pembaca. Jadi, kusarankan agar tidak usah kalian membacanya. Kecuali kalian benar-benar peka dengan apa yang akan aku ceritakan. Dari kisah yang sederhana, terdapat gemuruh batin di dalamnya. Bagai terperangkap dalam gelembung sabun yang kemudian mengudara dan pecah seketika.
Jika ditarik garis lurusnya, ini adalah kisahku dengan dua sahabat karibku yang pada akhirnya sibuk dengan urusannya masing-masing. Kisah tiga orang sahabat dan pilihan ketiga yang sangat berarti bagiku. Sederhana bukan?
Tapi aku masih berbaik hati pada kalian, jika kalian masih ingin membaca kisahku, bacalah. Saranku, jangan hanya membaca. Pekalah! Mungkin itu pilihan bijak karena aku khawatir kau malah akan disergap kebosanan.
Kami bertiga adalah sahabat karib. Aku mengira hal itu adalah kebenaran karena aku merasakan bahwa mereka berdua adalah orang terdekat selain keluargaku sendiri. Tidak, bahkan mereka sudah kuanggap sebagai keluargaku sendiri. Jika kalian tahu, aku malah cenderung lebih dekat dengan mereka dibanding keluargaku yang di rumah. Kalian tahu mengapa? Karena komunikasi yang kita jalin itu lebih dominan.
Perkenalkan, dua sosok yang aku sayangi itu adalah Dian dan Tami. Kami mempunyai nama kecil, nama yang kami buat sebagai penambah cita rasa persahabatan kami. Kami menambahkan kata “bo” diawal untuk nama-nama kami, seperti Bodi dan Bota. Nama kecil ini hanya kami yang pakai, jadi kalian cukup mengenal mereka dengan nama Dian dan Tami.
Seperti kebanyakan remaja, kami banyak menghabiskan waktu kami dengan bermain. Bertukar cerita, mengerjakan tugas sekolah bersama (percayalah, ini adalah  bagian terkecil), tidur bersama (aku dan Tami paling sering menginap di rumah Dian), pergi ke rental komik, nonton dvd, masak, dan sebagainya.
Semua aktivitas itu berlanjut sampai kami menjadi mahasiswi. Sekedar informasi, aku malas jika menggunakan kata “mahasiswi”. Mengapa harus ada mahasiswa dan mahasiswi? Karyawan dan karyawati? Bahasa Indonesia yang merepotkan bagiku. Jujur, aku lebih suka menggunakan kata mahasiswa, walaupun aku seorang perempuan. Karena itu memberikan kesan sederajat, tanpa harus menampakkan gender lagi.
Memang, kami masih bermain bersama tapi intensitasnya telah berkurang karena kita kuliah di universitas yang berbeda. Tidak seperti dulu yang satu sekolahan. Kami sempat bermimpi ingin kuliah di satu universitas yang sama, salah satu universitas negeri di Bandung. Tapi mimpi itu tidak tercapai pada akhirnya. Hanya Dian yang bisa masuk ke universitas tersebut. Tama masih lebih beruntung, masih masuk universitas negeri yang lain. Hanya aku yang kuliah di universitas swasta. Mungkin pada saat itu aku kurang konsentrasi saat mengerjakan soal-soal SNMPTN dan seingatku pada waktu itu aku memang kurang  enak badan. Ya, bolehlah aku mengatakan hal itu untuk berdalih dan demi menghibur diri sendiri.
Pada semester akhir, Tami memutuskan untuk mengkahiri masa lajangnya. Aku dan Dian sempat kaget. Tuhan, ternyata secepat itu. Tami akan menjadi “ibu-ibu!” setelah aku mendengar kabar itu terlintas kilatan bayangan bagaimana jadinya Tami nanti. Setelah menikah, menjadi “ibu-ibu” kemudian hamil dan mempunyai anak, masih sibuk mengerjakan skripsi, berusaha keras membagi waktu antara kehidupan rumah tangga dan kuliahnya, menjadi kurus, stress, cerai. Stop!!!!! Imajinasiku terlalu mengada-ngada.
Keputusan Tami menikah adalah keputusan yang telah ia pikirakan masak-masak. Telah melewati serangkaian proses pemikiran yang cukup panjang. Aku pun menjadi salah satu bagian dari rangkain itu. Aku dan Dian menjadi lawan biacara untuk berdiskusi dan keputusan akhir memang sudah jelas, menikah.
Kita tinggalkan dulu kehidupan Tami. Siapa yang mau tahu lebih dalam tentang kehidupan rumah tangga orang? Tami sudah bersuami dan setidaknya Tami sudah menginjak anak tangga kehidupan yang lebih tinggi dibandingkan dengan aku dan Dian. Kehidupan kita sudah berbeda.
Dian memang mahasiswi yang rajin, dia bisa lulus cepat. Jangan Tanya aku, karena aku akan lulus dua tahun lebih lama dibandingkan dengan Dian. Asal kalian tahu, untuk meraih gelar sarjana aku harus megambil jalan memutar. Aku pindah kuliah pada semester 4. Bukan tanpa alasan, inilah pilihan. Bukan sekedar pilihan alakadarnya, tapi pilihan hidup.
Kalian masih membaca kisahku ini kan? Apakah kalian sudah dirundung dengan suatu kebosanan? Percayalah, dua halaman pertama bagiku adalah kisah pembuka. Jika masih berminat, silakan baca kembali kisahnya.
Manusia selalu dihadapkan dengan pilihan. Tuhan sudah bermurah hati menawarkan pilihan itu dan beruntunglah kita bisa menjadi orang yang memilih tadi. Jika kita memilih, berarti kita adalah seorang pemilih. Sah-sah saja jika seseorang menjadi pemilih, toh dia memilih dari beberapa pilihan dan memilih salah satu yang dirasa itu adalah yang terbaik baginya.
Banyak pilihan yang telah Tuhan tawarkan padaku. Tapi aku tidak bisa mengingat semuanya, seperti pilihan ketika aku akan dilahirkan menjadi seorang perempuan atau seorang laki-laki. Aku tidak ingat akan hal itu. Aku pun sebenarnya tidak yakin, apakah Tuhan sempat menawarkan pilihan semacam itu padaku? Ada beberapa pilihan yang paling aku ingat yang Tuhan tawarkan padaku. Pilihan itu adalah pilihan ketika aku beranjak ke kelas 2 SMA, pilihan menjadi anak bahasa atau IPA? IPA, aku memilih. Kemudian ketika lulus SMA, Tuhan menawarkan lagi pilihan, pilihan menjadi anak MIPA atau sastra? MIPA, aku memilih. Pilihanku mengantarkanku pada salah satu universitas swasta, fakultas MIPA tepatnya.
Semuanya buah dari pilihanku sebelumnya. Apaun yang kita jalani sekarang adalah buah dari pilihan kita sebelumnya. Meskipun beberapa orang bilang semuanta adalah takdir, tapi aku tidak sepenuhnya  sependapat akan hal itu. Aku tidak memungkiri memang ada campur tangan Tuhan dari semuanya ini. Tapi seperti yang aku katakana tadi, Tuhan yang menawarkan pilihan dan kita yang memilih. Untuk beberapa hal, jalan kita memnag sudah diatur, seperti orang Sunda berkata “jodo, pati, bagja, cilaka, sadayana tos diatur ku Gusti”. Dengan patokan seperti itu kadang manusia lupa untuk memilih dan berusaha. Itulah yang menyebabkan kesialan. Manusia kadang melupakan proses.
Aku menjalani pilihanku yang kedua. Tapi aku bertahan hingga dua tahun lamanya sampai aku tersadar di pilihanku yang ketiga. Aku sadar jika pilihan yang ketiga adalah pilihanku sendiri dan pilihan pertama serta pilihan kedua sebelumnya dalah pilihan pilihanku dengan jiwa orang tua. Pilihan semu. Aku tidak akan menyalahkan orang tua, karena salahku sendiri yang pada akhirmya menjatuhkan pilihan pertama dan kedua hingga akhirnya sampai pada pilihan yang ketiga ini. Timbul pertanyaan, “apakah dulu aku sudah benar-benar memperjuangkan pilihanku sendiri?” Tidak. Memang salahku.
Tuhan masih bermurah hati dan aku rasa Tuhan memang selalu bermurah hati pada umat-Nya. Disadari atau tidak. Ketika itu aku merasakan kesibukan yang luar biasa, menguras waktu, tenaga dan pikiran. Semuanya semakin berat bahkan mencabik-cabik jiwa karena aku melakukan semua tanpa menikmatinya. Entah kemana jiwaku pada saat itu. Mungkin marah dan meninggalkan ragaku sesaat, hingga akau merasakan seperti mayat hidup ketika itu. Selama dua tahun, jiwaku seperti terkubur sampai pada suatu malam aku berusaha untuk menggali kuburan itu, membujuk jiwaku untuk bangkit kembali menemaniku. Kamarku memang memang gelap dan sunyi, tapi terjadi konflik batin malam itu. Berurai air mata, mengawang-ngawang antar cita-cita dan orang tua. Sampai aku mendapatkan pilihan ketiga tadi.
Aku meminta dan memperjuangkan pilihanku. Pilihan ketiga, dimana  aku ingin memilih dengan pilihanku sendiri. Terjadi negosisai disana. Aku berhasil meyakinkan orang tuaku dan aku memilih dengan pilihanku sendiri. Sekarang, aku adalah mahasiswi sastra di salah satu universitas swasta di Bandung.
Kata orang, menjadi mahasiswa hukum, kedokteran, MIPA, itu adalah hal yang membanggakan. Dilihat dari peluang kerja nantinya. Itulah pendapat umum. Aku tidak peduli. Aku rela menjadi minoritas di tangah-tangah hiruk pikuk mayoritas dengan pendapat umum mereka yang dirasa adalah suatu kebenaran. Semuanya semu.
Aku menikmati pilihanku yang ketiga ini. Bagi kalian yang masih membaca, apakah kalian bisa merasakan perasaan bahagiaku sekarang? Perasaan bahagia, dimana  tidak ada kebohongan ataupun sandiwara ketika menjalani sesuatu yang telah kita pilih oleh kita sendiri. Dalam keadaan sadar, penuh pertimbangan. Bukan masalah hasil yang bagus atau jelek, sesuai dengan harapan atau tidak pada akhirnya. Percayalah, apapun hasilnya kita tidak akan menyesali apa yang kita pilih oleh hati kita sebelumnya.
Hidupku sekarang lebih aman dibanding beberapa tahun belakangan ketika aku sedang mencicipi buah dari pilihan ku yang ketiga itu. Lalu bagaimana dengan Dian? Apa kabar dia?
Dian sudah lulus dan dia merupakan satu dari lima lulusan terbaik di angkatannya. Kehidupannya pun nampak aman-aman saja. Dian sudah memiliki teman dekat. Teman dekat laki-laki tepatnya dan bisa dibilang sebagai pacar. Aku dapat laporan itu, bahkan aku sudah berkenalan dengan pacarnya. Kesan pertama baik, tapi entah kenapa aku tidak bisa mengakrabkan diri lebih dekat dengan laki-laki itu. Bukan tanpa alasan, semua karena pernah ada perlakuan laki-laki itu yang kurang mengenakkan pada Dian dan aku tentunya. Sebelum mengambil jarak, aku pastikan dulu pada Dian tentang kebahagiaannya. Ternyata memang bahagia. Dengan tenang aku melenggang keluar dari jalur kisah cinta mereka. Memang aku tidak ingin terlalu ikut campur untuk masalah percintaan orang lain.
Semuanya berjalan pada alurnya. Kehidupanku, Dian dan Tami. Masing-masing mempunyai urusan yang berbeda. Kita bukan lagi remaja belasan tahun yang banyak menghabiskan waktu untuk bermain dan melakukan hal-hal yang konyol. Masa itu sudah terlewati. Tapi kadang aku merindukan semua itu. Begitupun panggilan aneh Bodi dan Bota.
Apa kabar Dian dan Tami? Aku disini dengan kehidupanku yang setidaknya lebih baik dari sebelumnya. Tapi mereka tidak tahu bahwa babak baru yang aku jalani ini bukan berarti mulus tanpa ada kerikil. Teman, jalannya kadang berkelok-kelok. Ada tanjakan dan turunan. Kadang aku harus menginjak gas dan kadang aku harus menginjak rem. Apakah kalian tahu bagaimana hidupku sekarang, teman?
Tami dengan kehidupan rumah tangganya, Dian dengan pacarya dan rutinitas barunya, aku pun dengan kehidupanku sekarang. Semuanya telah berubah. Tidak ada lagi kekonyolan-kekonyolan yang kita buat bersama dan komunikasi pun merenggang. Entah bermula darimana, aku tidak tahu dengan pasti. Semuanya terjadi perlahan tanpa aku sadari.
Kalian masih membaca kisahku ini? Jika iya, tolong sampaikan rasa rinduku pada Dian dan Tami. Aku terlalu malu untuk menghubungi dan menanyakan kabar mereka lebih dulu. Tolong…. 


***

Menanti sang fajar, 17 Nopember 2012


Comments

Popular posts from this blog

Analysis of The Poem “I Never Saw a Moor” by Emily Dickinson Based on Its Intrinsic Value

Kunang-Kunang

Recomended Film "Dead Poets Society"