Flash Fiction "Nyawa Dalam Segelas Kopi"


Nyawa dalam Segelas Kopi
Oleh: Indri Indrayani

Gelas mungil dengan gambar puppy selalu mencium bibirku di pagi dan sore hari. Bukan tanpa sebab, lewat gelas itulah cappuccino, mochaccino, bahkan cairan hitam pekat yang dinamai kopi itu bisa kunikmati saat itu juga.
Siapa yang tahu kegiatanku di pagi dan sore hari tadi? Ya, aku masih seperti orang biasa lainnya. Memulai aktivitas di pagi hari dan memanjakan diri di sore hari.
Ketika orang bertanya, "hal penting apakah yang ada dalam hidupmu?" Jawaban yang sederhana akan aku jawab, "inspirasi". Aku mengucapkan kata itu bukan berarti mengenyampingkan hal-hal penting lainnya.
Begitulah, memang inspirasi adalah salah satu hal yang penting dalam hidupku. Aku merasa sekarat ketika sedang kehilangan inspirasiku. Aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar komputer dengan hanya memandangi lembar kerja ms.word yang masih putih polos. Masa yang paling hening sekaligus masa yang paling menyiksa ketika aku dengan pikiranku harus berkelana mencari inspirasi itu. Sampai saatnya aku mengenal dan berteman dekat dengan gelas mungil dan kopi. Entah kenapa inspirasi itu lebih mudah untuk aku temui.
Apakah memang gelas mungil dan kopi itu adalah penghubungku dengan inspirasiku?
Memang!
Memang benar adanya. Gelas mungil dan kopi seperti jembatan yang aku lewati untuk menuju ke suatu tempat yang sejuk dimana inspirasi itu tinggal.
            Ketika Sherlock Holmes dengan pipa yang selalu mengait di bibirnya serta opium yang dinikmatinya itu adalah paket dari kebiasaanya, mungkin tak berbeda jauh dengan aku dengan kopi dan gelas mungil itu. Begitulah biasanya...
Sampai pada suatu sore, ketika bentuk gelas mungil itu berubah menjadi kepingan dan serpihan kaca yang berserakan di lantai. Kopinya pun tumpah.
Aku teriak. "Inspirasiku!!!!"
Seperti orang yang bergelantungan sebelah tangan pada jembatan kayu yang nyaris putus. Itulah yang aku rasakan saat itu. Sore itu adalah sore yang kelabu.
Kurapikan semua serpihan tadi dan mengelap cairan coklat yang memberikan warna kontras di lantai putih.
Ini sudah cukup larut untuk sebuah malam yang sederhana dan biasa saja. Tapi entah kenapa aku tidak bisa tidur.
Apakah masih membekas di ingatanku akan sore kelabu tadi? Aku rasa iya. Tapi aku berpikir, jika gelas mungil itu memang pecah dan tidak ada, maka harus diganti dengan gelas lain. Aku cukup membeli gelas yang sama persis atau bahkan membeli gelas yang lebih mungil sekalipun. Pada intinya aku masih bisa meminum kopi. Begitulah pertanyaan yang aku timbulkan sekaligus aku hadirkan jawabannya dalam pikiranku sendiri.
Lamunanku ternyata tidak berujung sampai disitu. Pikiran dan jiwaku menerawang dan membuat pola visualisasi dalam background hitam dibalik mata yang tertutup.
Timbul pertanyaan lagi, sekarang bukan pada gelas, tapi pada kopi. “Bagaimana jika suatu saat nanti aku beranjak tua atau aku mengidap suatu penyakit yang sekiranya tidak memperbolahkan aku untuk meminum kopi? Apakah itu berarti aku tidak akan menemukan inspirasiku lagi? Apa langkahku akan terhenti”
Sial! Membayangkannya saja aku sudah mual! Aku tidak ingin menggantungkan inspirasiku hanya pada segelas kopi saja.
Aku bangkit dari lamunan dan mencuci muka. Air yang membasahi muka cukup dingin untuk menyegarkan dan menyadarkanku sekaligus.
Aku mulai menulis saat itu juga. Aku ingin temukan jawaban pada detik itu juga.
Beberapa jam berlalu. Aku bisa! Aku merampungkan sebuah tulisan. Ternyata inspirasi itu bisa aku temukan tanpa segelas kopi dan tanpa waktu yang sangat lama sekalipun.
Inspirasiku masih tetap menjadi hal yang penting bagiku. Inspirasi adalah nyawaku, tapi sekarang aku telah menyadari bahwa nyawaku tidak berada dalam segelas kopi. Inspirasiku yang utama lahir dari diriku sendiri. Pikiranku akan menciptakan jalan dan menemukan suatu inspirasi ketika aku sendiri yang mengizinkannya.
Selama ini aku hanya berdalih ketika tidak menemukan inspirasi dan menjadikan kopi dan gelas mungil itu tumbal akan ketidakberdayaanku menguasai pikiranku sendiri.
Memang, “sugesti”..

***

Comments

Popular posts from this blog

Analysis of The Poem “I Never Saw a Moor” by Emily Dickinson Based on Its Intrinsic Value

Kunang-Kunang

Recomended Film "Dead Poets Society"