CERPEN "Nada Sumbang"
Nada Sumbang
Oleh : Indri Indrayani
G-C-D-Dsus4-C. Melodi
pertama selesai. Ternyata permainan gitarku sudah lumayan. Apalagi ketika
membayangkan wajahnya nan rupawan, petikan senarku terasa lebih bernyawa dan
entah kenapa serasa ada energi gaib yang merasuk sehingga semangatku naik
beberapa kali lipat. Satu lagu cinta akan ku persembahkan kepadanya, Conan.
Sebenarnya baru satu
bulan belakangan ini aku berlatih memainkan gitar akustik. Dan nampaknya aku boleh
sedikit berbangga hati karena ternyata
permainan gitarku lumayan bagus untuk kelas pemula. Jujur, aku tidak begitu
suka gitar. Tapi karena seseorang yang bernama Conan, aku mulai mencintai
gitar. Conan itu seorang gitaris. Kami satu kelas dan banyak perempuan di kelas
yang menyukai Conan, salah satu dari mereka itu adalah aku.
Aku memang salah satu
dari banyak bunga yang kagum akan sosoknya. Tapi aku tidak ingin menjadi bunga
taman yang hanya diam dan bergoyang sesekali ditiup angin. Aku ingin menjadi
bunga mawar merah diantara rumput-rumput liar. Biarkan dia terpesona hingga
memetikku dan membawaku pulang dalam dekapannya. Ya, aku tidak ingin seperti
kumpulan perempuan pecundang yang hanya bisa diam dan menatap si gitaris itu
dari kejauhan. Merasa harga diri akan melorot? Gengsi atas pertimbangan karena
perempuan itu dirasa kurang pantas untuk mengungkapkan perasaan sukanya pada
seorang laki-laki? Ah, itu budaya lama! Out
of date! Bagiku, perempuan atau laki-laki punya hak yang sama, begitupun
dalam hal mengungkapkan perasaannya. Aku tidak mau jika hanya menjadi pemuja
rahasia. Perasaanku ini terlalu berharga untuk aku pendam.
“Aku
suka perempuan yang pandai memainkan gitar” ujar Conan.
Kalimat tersebut aku
tangkap dan naluri perempuanku bekerja pada saat itu juga. Aku harus mulai
belajar bermain gitar jika aku ingin lebih dekat dengannya. Aku ingin menjadi
mawar merah cantik dan merona. Aku yakin itu akan berhasil. Setidaknya selama
ini aku memang sudah menjadi mawar merah di mata para kumbang. Tidak sedikit
dari kumbang-kumbang itu yang mengincarku, berusaha mengencaniku dan menghisap
sariku. Tapi yang ku inginkan bukan mereka, melainkan Conan.
Aku kuras semua uang
tabunganku dan membelanjakannya pada sebuah gitar akustik-elektrik berwarna
hitam. Ukurannya pas denganku. Body-nya
tidak begitu besar – ramping, neck-nya
yang tidak begitu lebar sehingga jemariku lebih luwes menari-nari disana.
Perasaan yang luar biasa ketika aku bisa memilikinya. Entah, sulit untuk
digambarkan. Aku beri nama gitar pertamaku. Perkenalkan my black guitar, Kuroya.
Sakit dan perih.
Jemariku terluka karena gesekan steel
strings kuroya. Kulitnya pun mengelupas. Sesekali aku mengompres jemariku
ini dengan air es agar rasa sakitnya berkurang. Ya, memang sakit. Tapi rasa
sakitnya masih kalah besar dengan rasa sukaku pada Conan. Jadi, setiap luka dan
rasa perih di jemariku ini pada akhirnya aku sulap menjadi sebuah kenikmatan –
manis, unik. Aku yakin, ketika sampai pada waktunya nanti akan ada orang yang
mengecup hangat jemariku ini.
Aku rasa ini sudah
waktunya. Ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku daripada
meringkusnya terlalu lama dalam sanubari terdalam. Conan harus segera
mengetahuinya. Karena semakin aku menahannya, semakin sesak dada ini. Aku sudah
berlatih cukup keras dan lagunya sudah rampung dengan sempurna. Lirik dan
melodi sudah aku ikat dengan tali cinta – menyatu, utuh.
Gugup. Ini pertama
kalinya aku akan bernyanyi sambil bermain gitar di depan sosok yang aku puja.
Jika aku boleh membandingkan dan memilih, aku lebih berani bernyanyi di depan
teman-teman yang lain atau di antara hiruk pikuk pasar sekalipun dibandingkan
bernyanyi di depan seorang lelaki yang aku suka dan aku puja.
Taman belakang kampus
ini menjadi tempat dimana akan ada sosok kejujuran yang menyeruak dari hati
nurani. Bangku tua ini akan menjadi saksi bisu yang akan mendengar senandungku
serta dialog kami. Bangku tua ini akan melihat pula adegan apa yang akan
terjadi nanti.
Aku memberanikan diri
dan mulai menyanyikan lagu di hadapannya. Sebisa mungkin aku sembunyikan rasa
gugupku. Mataku tidak kuberi izin untuk langsung bertemu pandang dengan
matanya. Aku alihkan pandanganku pada gitar. Tapi aku yakin sepasang bola mata
itu terus memperhatikanku.
Aku berhasil membawakan
lagunya. Aku tarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan – lega. Memang lagunya
biasa saja, tapi aku yakinkan Conan bahwa terdapat perasaan yang bergelora di
dalam lagu ini. Ketika aku membuat lagu ini, aku hanya memikirkannya.
“Semoga
untaian nada dan lirik ini akan menyampaikan perasaanku padamu. Laguku ini
adalah kejujuran hatiku. Kau mungkin sudah bisa menyimpulkannya bukan? Aku suka
padamu. Hatiku berbisik demikian. Perasaan yang tidak bisa aku tahan.
Sekaranglah saatnya aku meluapkan rasa itu. Aku hanya ingin kau tahu tentang perasaankudan
mohon tanggapi”
Senyuman mengembang
dari bibir tipisnya. Senyuman yang ramah, bola mata berwarna coklat dengan
tatapan yang teduh, rambut terurai sebahu yang dimainkan angin, semuanya
membuatku hanya bisa menelan ludah. Ya Tuhan, begitu sempurna sekali makhluk yang
ada di depanku ini. Dengan senyumannya tadi, aku yakin dia suka laguku.
Sejenak Conan terdiam.
Sambil menggigit bibir bawahnya dan mengangguk-angguk, nampaknya dia sedang
memilah diksi yang cocok untuk memulai suatu pembicaraan.
“Jean,
aku sangat tersanjung kau menciptakan lagu yang merdu ini hanya untukku. Aku
ucapkan terima kasih banyak. Aku hargai perasaanmu. Tapi maaf, kita hanya akan
bisa menjadi teman. Aku sudah meminta perempuan lain untukmenetap di hatiku”
Telingaku
berdengung. Mataku berkaca-kaca. Lututku lemas. Beberapa kalimat singkat tapi
menjelma menjadi ribuan anak panah yang serempak tepat menghujam jantungku.
Ketika itu aku bagaikan seonggok daging tanpa tulang. Aku seperti kehilangan
penyangga dan keseimbangan. Untunglah bangku tua itu membagiku tempat
bersandar. Berusaha sekuat tenaga, aku coba untuk menguatkan hatiku. Aku eratkan
genggaman tanganku pada Kuroya.
Aku tidak mempersiapkan
diri untuk menerima jawaban ini. Hal ini diluar prediksi. Mengapa kumbang yang
satu ini bisa mengabaikan dan menolak sari yang ditawarkan sang mawar merah?
Apakah aku tak cukup merona? Udara yang tadinya terasa begitu hangat kini
benar-benar dingin menusuk hingga tulang rusuk. Sore hari yang teduh berubah
seketika menjadi sore yang kelabu. Kicau burung yang tadi begitu merdu kini
terdengar seperti kompak bersautan mengejekku. Suasana syahdu setengah jam yang
lalu lenyap disapu ombak penegasan. Kilat yang menukik tajam mengahancurkan
harapan dan impian.
Semuanya telah berlalu.
Aku masih belum siap untuk bertatap muka dengan Conan. Seminggu ini aku absen
kuliah. Tak ada tenaga, tak ada semangat seperti sebelumnya. Berjam-jam aku
hanya terbaring di atas ranjang tanpa banyak berbuat apa-apa. Apalagi untuk
memainkan gitar. Sungguh tak ingin.
Motivasiku bermain
gitar sudah sirna. Semuanya lenyap oleh penegasan Conan. Jika teringat kembali
momen itu, dengan seketika mataku perih dan mataku basah. Well, aku menangis dan aku benar-benar patah hati.
Aku ambil gitar
kemudian aku mainkan nada yang sama. Aku mainkan lagu untuk Conan. Susah payah
aku coba. Ternyata dari tadi aku hanya memainkan nada sumbang. Semakin yakin
bahwa aku sudah kehilangan nyawa untuk bermusik.
Aku peluk erat Kuroya
dan aku menangis sejadi-jadinya. Air mataku tumpah di atas tubuh Kuroya.
Pikiranku merangkak di lajur waktu. Tidak!!! Aku tidak terima!!! Aku tidak mau
kalah untuk kedua kalinya. Sebentar, harus ada yang dikaji ulang disini.
Perasaanku pada Conan
tidaklah salah. Aku yakin itu adalah anugerah. Aku sudah mengakuinya bukan?
Kesalahanku adalah ketika aku memulai bermain gitar tidak lain karena Conan.
Rasa cintaku pada Conan, bukan pada gitarku, Kuroya. Kesalahanku adalah
menitipkan semangatku pada Conan. Aku tidak menciptakan semangatku sendiri. Semangat
yang harusnya timbul dari dalam hatiku untuk bermain gitar. Ketika Conan masih
bisa menjadi penyemangat untukku, aku akan bersemangat dan ketika dia sudah
tidak lagi menjadi sosok itu, semuanya pun berubah. Aku jatuh dan terpuruk.
Tidak banyak yang bisa kulakukan. Ketika motivasiku sirna di telan bumi, untuk
berpijak saja kaki ini teramat lemas. Itu yang tidak aku sadari sebelumnya.
Belum lagi penegasan Conan yang harusnya aku terima dengan lapang dada. Begitu
bukan?
Semakin erat pelukanku
pada Kuroya. Aku tatap gitar hitam itu dalam-dalam. Ternyata aku sadar jika aku
telah berbuat salah padanya. Bukan pada Conan, tapi Kuroya. Aku yang telah
mempermainkan perasaan Kuroya. Selama ini hatiku belum kawin dengan gitarku
sendiri. Aku belum mencintai Kuroya. Selama ini aku mengabaikan hal yang
ternyata sangatlah penting. Maafkan aku Kuroya…
Aku mulai menyukai
gitar. Tidak, bahkan aku yakin jika aku sudah benar-benar jatuh cinta pada
Kuroya. Tidak akan ada lagi nada sumbang yang akan aku mainkan. Aku bisa lebih
memaknai perasaan. Mungkin lagu yang kemarin aku ciptakan untuk Conan masih
kurang bernyawa karena perasaanku kepada Kuroya belum terbentuk. Laguku pun
masih belum tulus sepenuhnya karena aku masih menyisipkan syarat diantara
bait-bait lirik itu. Keinginanku untuk memiliki Conan terlalu besar hingga
menjadi suatu obsesi. Mulai sekarang, dengan semangatku sendiri dan rasa
cintaku pada Kuroya, akan aku ciptakan lagu yang bernyawa, benar-benar tulus
tanpa syarat. Laguku adalah nyawaku…
***
Langit jingga, 17 Desember 2012
Comments
Post a Comment