Literary Journalism: Ketika Kaki-kaki Mungil Menapaki Bumi
“Ikut! Ikut! Ikut!” Fauzan
selalu menyebut kata yang sama berulang-ulang dengan semangat. Sesekali dia
merangkul ibunya dengan penuh kehangatan. Entah apa yang dimaksudkan Fauzan.
Hendak ikut ke mana? Hiking? Justru
Fauzan dan ibunya sedang hiking. Kak
Mei, ibu Fauzan tetap tersenyum dan tak bosan menanggapi celoteh Fauzan itu. Mungkin itu merupakan bentuk penegasan Fauzan bahwa ia ingin selalu bersama
ibunda tercinta.
Tiap minggu Kak Mei selalu menemani Fauzan untuk hiking. Bukan karena hobi, melainkan terapi. Fauzan tidak sendiri.
Di sana banyak teman lainnya yang menyandang kebutuhan khusus seperti Fauzan.
Mereka tidak hanya berasal dari Bandung tapi dari luar kota seperti Jakarta dan
Sukabumi. Fauzan dan teman-temannya tergabung dalam kelompok hiking yang diberi
nama Little Footprint.
Kaki-kaki mungil itu mencium bumi. Setiap pijakannya melekat sebuah
harapan. Harapan yang sama, memperoleh keseimbangan fisik dan mental serta
merasakan tumbuh kembang seperti anak pada umumnya. Namun bukan berarti
kebidupan mereka tidak indah. Kehidupan mereka sangat berwarna. Mereka hanya masih
sulit untuk berbagi dunia dengan orang lain. Anak-anak ini terlalu asyik
menjelajahi dunia mereka sendiri dan menciptakan kode-kode unik yang memang
tidak mudah dimengerti.
Di bawah terpaan sinar mentari, punggung mereka seperti mengeluarkan sayap
yang siap terbang kapan saja. Bersemangat dan tanpa ragu untuk melangkah. Menari-nari
bak balerina di pematang sawah dan jalan setapak yang mengelilingi bukit kecil
serta anak-anak tangga di antara deret perumahan warga.
Adapun rute yang tersedia di Little
Footprint dibagi menjadi tiga jenis. Rute itu diantaranya untuk anak usia
3-4 tahun dengan jarak tempuh 1-2 km; rute untuk anak usia kurang dari 7 tahun
dengan jarak tempuh 4 km; dan rute untuk anak usia lebih dari 7 tahun dengan jarak
tempuh 6-7 km. Selama perjalanan, Fauzan dan kawan-kawan akan berusaha membaca
tanda yang dibuat dari guntingan kertas yang disebar di tanah. Rute yang
dipilih pun sengaja agak terjal. Hal ini dimaksudkan agar saraf motorik si anak
lebih terangsang.
Ketika itu, pada tanggal 26 oktober 2013, Fauzan ditemani ayah dan ibunya
untuk hiking di Jl. Bukit Pakar Timur
Raya Dago, Bandung. Namun Deden, ayah Fauzan hanya menunggu di tempat parkir
karena sang ayah tidak sanggup berjalan dengan rute Fauzan yang 6-7 km jauhnya.
Sempat Deden mencoba menaklukan rute tersebut tapi pada akhirnya malah
menghambat perjalanan. Nampaknya pria berambut cepak ini tidak bisa mengimbangi
kaki anaknya yang sangat lincah. Oleh karena itu, Deden memilih menunggu di
tempat parkir bersama dengan panitia Little
Footprint.
Fauzan merupakan anak yang beruntung. Tidak semua anak yang berkebutuhan
khusus seperti Fauzan selalu didampingi oleh orangtua di setiap aktivitasnya. Seperti
kegiatan hiking misalnya. Tidak
sedikit dari mereka yang hanya didampingi oleh supir dan pengasuhnya. Orangtua
anak-anak spesial ini terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka. Bahkan ada orangtua
yang tidak bisa menerima kondisi anaknya yang memang berbeda dengan anak
kebanyakan. Mereka sudah ciut duluan sebelum mencoba masuk ke dalam dunia anak
mereka dan memahaminya.
Keadaan tersebut memang sulit. Bagaikan disambar petir di siang hari, ketika
Kak Mei yang nama sebenarnya adalah Mairzani ini harus menerima kenyataan bahwa
anaknya menyandang kebutuhan khusus. Perasaannya campur aduk ketika itu. Di antara
rasa bersalah, takut, dan gamang. Belum lagi ketakutan akan respon suami
tercinta sekaligus ayah dari buah cintanya beserta keluarga besar suaminya di
Bandung. Beban semakin terasa berat karena Kak Mei tinggal jauh dari kampung
halaman dan orangtuanya yang berada di Padang.
Sebenarnya Fauzan adalah anak kedua. Kak Mei sempat mengandung benih cinta
pertamanya dengan Deden. Namun, ketika itu Tuhan belum memercayakan titipannya kepada Kak
Mei sehingga si jabang bayi tak sempat melihat indahnya dunia. Dua bulan saja dia
bisa menyerap sari-sari makanan dari ibunya. Dr. Rahmat yang menangani Kak Mei berujar
bahwa saluran rahim ibu penyabar ini tertutup. Oleh karena itu harus dipompa. Kak
Mei merasakan sakit yang luar biasa pada saat itu.
Fauzan telah terlahir ke dunia dan sambutan orangtuanya pun tak biasa.
Bagaimanapun hal itu memang wajar adanya. Masa untuk menerima kondisi anak yang
berkebutuhan khusus adalah fase awal yang sangat berat. Berulang kali Kak Mei
dan suaminya mengkaji ulang hal apa yang telah mereka lalaikan hingga Fauzan
terlahir tidak sesuai harapan. Jelas tidak ada yang salah. Mereka merasa bahwa
mereka sudah menjalani semua proses sebagaimana mestinya. Dari proses sebelum
kehamilan, ketika Kak Mei mengandung, hingga akhirnya Fauzan lahir.
Semakin keras mereka berpikir, semakin kabur pula jawaban yang mereka
harapkan. Entahlah, penyebabnya bersarang dalam ketidakpastian. Namun Kak Mei
mengucap syukur ternyata suaminya mencoba untuk menerima kondisi tersebut dan
memberikan dukungan yang sangat berarti. Walaupun tertatih, mereka mencoba
melangkah menjalani suratan Yang Maha Kuasa. Hingga tiga tahun berlalu,
pasangan ini baru benar-benar dapat menerima keadaan tanpa menyalahkan diri
mereka sendiri dan Tuhan.
Berbagai upaya dilakukan demi kondisi Fauzan yang lebih baik. Salah
satunya adalah konsultasi kepada dr.
Purboyo di Rumah Sakit Sentosa dan Ibu Rina, psikolog yang membuka klinik Golden Age. Di klinik ini Kak Mei
belajar yoga dan bagaimana cara menanggulangi anak. Ibu Rina memberikan banyak
masukan dan dukungan kepada Kak Mei sehingga beliau merupakan salah satu sosok
yang sangat membantu Kak Mei agar menerima kondisi anaknya.
Sejak berumur dua tahun, Fauzan mengikuti terapi okupasi di Rumah Sakit Hasan
Sadikin dan terapi totok saraf. Usaha itu berbuah hasil. Suara Fauzan mulai
terpancing keluar untuk belajar berbicara. Oleh karena itu, Fauzan tidak
memerlukan bahasa isyarat. Pada usia 6-7 tahun Fauzan mulai mengenal satu
kalimat. Hingga sekarang Fauzan mengalami perkembangan secara bertahap untuk
berkomunikasi.
Seiring berjalannya waktu, perasaan, tenaga, dan materi telah banyak terkuras.
Fisik pun terkadang dipertaruhkan langsung ketika Fauzan merasa marah. Bocah
lelaki ini akan menyerang ibunya dengan gigitan. Emosi Kak Mei pun menyeruak
sesekali. Namun sorot mata Fauzan yang mendalam selalu memancarkan pesan bahwa
ia butuh kasih sayang. Tidak banyak kata yang bisa diucapkan. Kak Mei memahami
betul dan hanya bisa bersabar akan hal ini.
Seorang ibu yang kasihnya sepanjang masa merupakan orang yang memiliki kedekatan
khusus yang paling besar dengan anaknya. Apa yang dirasakan anaknya pasti
dirasakan juga oleh ibu. Hal itu berlaku pula pada Kak Mei. Dia bisa merasa
bahagia akan perkembangan Fauzan dan bisa merasa sedih juga ketika Fauzan
tertimpa suatu hal yang kurang
mengenakan. Seperti halnya perlakuan tetangga yang merasa terganggu dan kesal kepada Fauzan ketika
Fauzan berhasil lolos dari pengawasan ibunya untuk beberapa saat dan mengacak-acak
rumah tetangganya itu. Ada juga perlakuan teman-teman Fauzan yang tak jarang
mengolok-olok kondisi Fauzan. Sebagai ibu, hati Kak Mei tersayat. Begitu perih.
Tapi apa mau dikata, orang di luar sana terkadang tidak bisa menempatkan
posisinya dengan posisi Kak Mei.
Ibu Fauzan harus lebih peka berjuta kali lipat akan kondisi anaknya yang
tidak mudah dipahami. Seperti halnya ketika Fauzan yang menahan buang air kecil
jika berada di rumah orang lain. Entah apa penyebabnya, Fauzan enggan buang air
kecil selain di rumahnya sendiri. Apalagi ketika Kak Mei harus selalu menemani
Fauzan buang air kecil hingga kelas 5 SD.
Selain itu, pengawasan ekstra sangat dibutuhkan. Sempat Kak Mei lengah. Ketika
memasak di dapur, ternyata Fauzan sudah hilang. Fauzan mengikuti seseorang yang
pergi ke kebun dan dia tersesat. Belum lagi pengawasan akan makanan Fauzan.
Salah sedikit saja bisa fatal akibatnya. Seperti ketika Fauzan mengonsumsi
terlalu banyak gula, misalnya. Emosi Fauzan semakin tidak dapat dikontrol.
Fauzan bisa tertawa terbahak-bahak tanpa henti dalam beberapa saat atau dapat
juga dia marah hingga melukai tangannya sendiri dan ibunya dengan gigitan.
Cerita-cerita tadi adalah sebagian dari banyaknya hal yang bersifat teknis
yang harus dialami Kak Mei ketika berinteraksi dengan Fauzan. Kunci utama
adalah kepekaan. Ketika kepekaan telah tumbuh, Kak Mei bisa lebih memahami
Fauzan kemudian berusaha masuk ke dalam dunia anaknya itu. Rasanya tidak sulit
lagi bagi Kak Mei untuk memulai sebuah awal dari “berbagi” kasih sayang.
Fauzan yang notabene “anak spesial” ini justru telah memiliki kepekaan
lebih mengenai apa itu kasih sayang. Walaupun dengan ekspresi yang berbeda-beda,
anak-anak seperti Fauzan akan merespon dan menerjemahkan dengan alami apa yang
mereka rasakan dari orang sekitar. Kak Mei dan Fauzan pasti memiliki kode-kode
unik dalam menerjemahkan kasih sayang mereka walaupun tanpa banyak kata. Bisa
saja dengan pelukan atau tatapan mendalam yang selama ini Fauzan lakukan.
Interaksi dengan kode-kode unik ini adalah awal yang cukup baik. Fauzan
berhasil merespon ibunda. Harapan yang
semula samar itu kini mulai menampakkan wujudnya. Setelah berinteraksi dengan
ibu dan orang terdekat, suatu hari nanti mungkin Fauzan bisa membuka pintu gerbang
dunianya pada orang banyak. Bukanlah hal yang mustahil tentunya.
Di setiap senyuman, tatapan mendalam, kata yang diucap terbata, dan tawa
yang datang tetiba, mengisyaratkan makna. Semuanya hanya bisa diterjemahkan
kembali lewat sebuah “peka.” Seperti ketika badan Fauzan bergerak semangat
tatkala mendengar alunan musik beat. Itu
adalah sebuah respon dan ketertarikan Fauzan. Kepekaan Kak Mei pun bisa
menangkapnya. Suatu hari nanti Fauzan akan diberi
kesempatan belajar bermain musik, terutama gitar. Hal ini berkaitan dengan
kebiasaan sang ayah bermain alat musik petik ini di waktu senggang.
Kini M. Fauzan Deniswara bersekolah di SLB Pelita Hati Cimahi. Bocah lelaki
yang sekarang berumur 15 tahun ini berada di bangku kelas 7. Kak Mei masih
sabar menemani setiap aktivitas anak sematawayangnya itu. Berjuta harap
tersimpan rapi dalam hatinya. Hal yang utama, yaitu kondisi Fauzan yang lebih
baik tentunya. *** (indrayani)
Comments
Post a Comment